Jumat, 08 April 2011

Bidadari untuk ikhwan_jilid 4

“Assalamualaikum!” salamku pada penghuni rumah.

“Walaikumsalam!” serentak jawaban para orang-orang yang ada didalamnya.

Ustad Fadlan menghampiriku lalu memelukku. Pelukan yang membuatku merasakan keindahan persaudaraan. “Khaifa khaluk, akhi?” tanya ustad Fadlan

“Alhamdulillah, be khoir ustad!” jawabku

Setelah itu ustad Fadlan mempersilahkan aku masuk kedalam rumahnya. Ternyata semua saudara-saudara seimanku pun telah datang lebih awal dariku. Irwan, Hamsah, Feri, Abidin, Rochim sudah menanti kedatanganku. Setelah aku menyalami mereka semua. Kajianku pun dimulai.

Ustad Fadlan menerangkan tentang keimanan dengan sangat baik. Tutur katanya lembut dan mengena pada setiap relung jiwa. Tata bahasa diatur sedemikian rupa agar tidak menyinggung orang yang mendengarkannya. Sehingga, kita dapat mencerna apa yang dikatakan oleh ustad Fadlan. Keimanan adalah sebuah unsur untuk dapat mengetahui, apakah kita memang benar-benar meyakini keberadaan Allah, atau malah kita tidak meyakini keberadaan Allah.

“Keimanan adalah keyakinan kita terhadap sesuatu, jika kita meyakini adanya keberadaan Allah. Maka hanya Allah lah yang seharusnya dihati kita. Tidaklah seorang yang menyatakan diri beriman kepada Allah sedangkan dia masih takut pada selain Allah. Jikalau kita takut pada selain Allah, maka kita beriman pada apa yang kita takuti tadi, bukan beriman kepada Allah.” ucapan ustad Fadlan sangat menyentuh kalbuku.

Setelah ustad Fadlan banyak memberikan taujihnya kepada para pencari kebenaran. Kami berenam ditanya satu-persatu tentang permasalahan yang ada pada kami. Disinilah ajang curhat para aktivis dakwah. Seorang aktivis dakwah tidak akan langsung meluapkan masalahnya secara sembarangan kepada setiap orang yang dikenal. Tiada keluh kesah yang diluapkan kepada manusia, melainkan membuka sebuah wacana solusi pada setiap individu yang sedang dilanda masalah. Jadi bukan berarti, seorang aktivis dakwah yang sedang curhat kepada murabbinya adalah orang yang bermental lemah. Atau bahkan minta dikasihani. Bukan, bukan seperti itu. Seorang aktivis dakwah yang sedang curhat kepada murabbinya adalah merupakan membuka peluang masalah yang sedang terjadi pada individu untuk diselesaikan bersama-sama. Sehingga jika ada seorang aktivis dakwah yang sedang dihadang masalah, selain dia meminta kepada Allah untuk menyelesaikan masalahnya. Juga membagi ladang pahala bagi saudaranya untuk menyelesaikan masalahnya.

Dengan begini seorang aktivis dakwah dituntut untuk selalu tahu tentang permasalahan saudaranya. Sehingga diharapkan, rasa persaudaraan itulah yang

mendorong satu dengan lainnya menciptakan ikatan tali ukhuwah yang sangat erat. Dan seharusnya tidaklah seorang saudara meminta bantuan atau bahkan belaskasihan kepada saudara lainnya, tetapi seharusnya aktivis dakwah mengetahui apa yang dibutuhkan saudaranya dan membantu sebelum saudaranya meminta bantuan atau bahkan yang menghinakan saudaranya, yaitu meminta belaskasihan.

“Ustad, ana ada permasalahan!” ucap Hamsah.

“Iya, antum ada persoalan apa?” jawab ustad Fadlan dengan lembut.

“Gini, Ustad. Ana ada persoalan tentang ruhiyah ana! Ana rasakan, ruhiyah ana semakin lama semakin menurun. Ana kok merasa futur, Ustad. Ana masih bingung kenapa iman ana melemah hari demi hari!” Hamsah sejenak berfikir, lalu melanjutkan keluh kesahnya “ana menjadi begitu tidak bersamangat untuk berdakwah. Langkah-langkah ana begitu berat dan gamang dalam setiap dakwah ana! Ana butuh pencerahan kembali, Ustad!” Hamsah menyelesaikan dengan menghembuskan nafas panjang.

“Hem, iya ana mengerti, Akh! Apa yang antum rasakan memang beberapa kali sering menghinggapi pada perasaan kita. Kadang kita merasa sangat bersemangat sekali, sehingga seakan-akan bahwa kekuatan semangat kita tidak akan terbendung! Tetapi dalam waktu tertentu, ghiroh (semangat) kita menjadi melemah, atau bahkan luntur. Ini menjadi pelajaran yang baik bagi kita semua!” sejenak Ustad Fadlan tersenyum, lalu melanjutkan taujihnya “ikhwa fillah, saat ghiroh kita dalam semangat, puncaknya adalah saat kita tidak dapat mencapai apa yang kita inginkan. Sehingga semangat kita menjadi kendur, atau melemah. Dan lama kelamaan akan terkikis habis. Maka dari itu, kenapa kita sangat perlu adanya Liqo’(pertemuan/berkumpul). Dengan adanya Liqo’ semangat kita yang semula luntur, Insya Allah akan bangkit kembali. Atau kalau lah semangat kita luntur tidak begitu drastis penurunannya. Ibaratnya adalah handphone yang perlu di charge. Maka kita juga perlu untuk di charge kembali. Untuk menumbuhkan keimanan kita kembali. Untuk mengisi melemahnya ruhiyah kita, saat menghadapi permasalahan­permahasalan yang berat!” ucap Ustad Fadlan dengan sikap tegasnya. “Akhi Hamsah. Coba pikirkan kembali apa yang membuat ghiroh antum melemah?” tanya Ustad Fadlan.

Hamsah terlihat sedikit mengerutkan dahinya, mencoba untuk memikirkan apa yang membuat semangat dia luntur. Tak lama setelah itu “Hem, Insya Allah ana sudah menemukan penyebab permasalahan ana ini ustad!” ucap Hamsah serius.

“apa itu, yaa akhi?” tanya Ustad Fadlan

“akhir-akhir ini banyak Al Akh, yang meminta tolong ke ana untuk mengerjakan sesuatu yang berhubungan dengan dakwah kita. Karena memang itu profesi ana, sehingga Al Akh banyak datang ke ana. Ana mengerjakan lebih dulu permintaan Al Akh, ketimbang pesanan orang lain. Dana-dana yang lebih dulu masuk, ana arahkan semuanya ke pesanan Al Akh. Sehingga pesanan-pesanan banyak yang terbangkalai. Setelah ana selesai mengerjakan pesanan Al Akh. Ana jadi tidak bisa mengerjakan pesanan yang lain. Dan membuat dana-dana dari usaha ana macet. Karena pembayaran dana dari Al Akh, masih

belum dibayar. Usaha ana benar-benar collaps, dan saat ini pesanan-pesanan yang lain masih tetap belum bisa ana kerjakan, karena berhubungan dengan dana tadi!” Hamsah mengerutkan dahinya, setelah itu dia melanjutkan perkataannya “dan kemudian ana, jadi berfikir. Bahwa berdakwah harus siap untuk rugi. Tetapi ana juga berfikir, bahwa jika ana rugi terus-menerus. Maka usaha ana nggak akan jalan! Mungkin, itu yang membuat ana futur ustad”

Ustad Fadlan terlihat mengerti dengan apa yang dialami oleh Hamsah. Tak lama setelah itu, Ustad Fadlan berkata “iya, inilah Akh yang ana sering bilang kepada setiap Al Akh. Banyak Al Akh yang salah kaprah tentang memahami arti dakwah. Mereka mengira dengan mangatas namakan dakwah, meraka dengan mudahnya meminta bantuan kepada Al Akh yang lain. Tetapi bantuan yang diberikan tidak di imbangi dengan kontribusi yang lain. Kadang setelah Al Akh puas dengan hasil kerja kita, mereka hanya mengucap, Syukron, Jazakallah atau perkataan yang lainnya. Padahal kontribusi dari dakwah itu ada imbalbaliknya. Bukannya kita terus mengimbal tanpa ada baliknya. Dan dakwah bukan berarti harus merugikan kita. Seharusnya imbalbalik dari dakwah itu adalah menciptakan suasana yang Islami. Contohnya, dalam Islam diharuskan untuk membayar orang yang telah bekerja sebelum keringat orang yang bekerja itu mengering. Ini merupakan perintah langsung dari Rasulullah. Sedangkan kalau hanya dibayar dengan ucapan syukron, jazakallah. Apakah kita dapat memberikan makan anak dan istri kita dengan perkataan itu! Memang itu juga salah satu penyebab seorang menjadi futur. Sehingga semangat untuk berdakwah lama-kelamaan akan terkikis habis. Dan perekonomian umat Islam tidak akan berjaya, jika harus dibayar dengan perkataan! Karena Rasulullah pun bersabda yang pada intinya, kemiskinan itu akan menyebabkan kekufuran.”

“Wah saya kok jadi tersindir yach!” celetuk Irwan.

“Ggeerrrr........” serempak semua tertawa.

“Kalau kita sich akh, bukan bermaksud untuk tidak membayar. Tapi kita ngutang dulu!” ucapku.

“Kalau antum berdua sich ana udah tau, antum kan raja ngutang! Biasalah mahasiswa, ngontrak lagi!” jawab Hamsah. Yang akhirnya membuat kita tertawa lagi.

Ustad Fadlan tersenyum, lalu setelah itu bertanya “Akhi Hamsah. Usaha antum rugi berapa? Dan butuh dana berapa?”

“Usaha ana sekarang agak tersendat Ustad. Rugi sekitar 4 jutaan!” jawab Hamsah.

Ustad Fadlan mengangguk tanda mengerti, lalu ustad Fadlan beranjak berdiri sambil mengatakan “Afwan, sebentar ana tinggal kebelakang!”

Serempak kita menjawab “tafadhol, Ustad!”

Aku dan Irwan tersenyum, tak lama Irwan berkata “wah Ustad, tau saja kalau kita sedang lapar!”

Serentak kami pun tertawa lagi.

“Hehe…. Antum tau juga, apa yang ada dalam pikiran ana!” kataku.

“Dasar.. mahasiswa!” celetuk Feri.

Tak lama Ustad Fadlan datang. Tak lupa membawa boncengannya.

“hehe… Ustad tahu saja kalau kita lagi mengharapkannya!” ucap Rochim

Ustad Fadlan tersenyum. Tak lama Ustad Fadlan berkata “Akh, Hamsah. Ini ana punya simpanan uang 4 juta. Antum silakan ambil. Kalau misalkan uang dari Al Akh yang lain sudah dibayarkan. Baru silakan dikembalikan. Kalaulah memang belum dapat dikembalikan, antum pakai dulu tidak apa-apa.” Ustad Fadlan terlihat sangat tulus sekali saat memberikan uang itu.

Subhanallah ucapku lirih dalam hati. Sungguh seharusnya, seperti inilah seorang dai. Seperti apa yang dilakukan oleh Ustad Fadlan. Sebuah contoh yang sangat bagus. Tidak hanya berdakwah dengan kata-kata, tetapi diimplementasikan dengan perbuatan. Manakala seorang saudara muslim membutuhkan bantuan. Maka dengan cepat saudara muslim yang lainnya menolongnya. Inilah yang seharusnya dipegang umat Islam. Saat saudaranya sedang butuh pertolongan. Sebelum saudaranya meminta bantuan, maka saudara yang lainnya langsung menawarkan bantuan. Subhanallah.

“Nggak usah, Ustad! Biar ana menunggu uang pembayaran dari Al Akh saja Ustad.” Ucap Hamsah.

Allahu Akbar ucapku dalam hati. Sungguh memang seharusnya seperti inilah muslim. Dia tidak mengharapkan bantuan saudaranya yang lain. Selama dia masih bisa bertahan. Dan bahkan tidak membutuhkan rasa dikasihani oleh saudara yang lainnya. Inilah yang seharusnya menjadi sebuah contoh. Aku tak habis pikir. Peristiwa sahabat Rasulullah terulang kembali. Saat terjadi peperangan, beberapa sahabat Rasulullah sangat membutuhkan air. Tapi apa yang dilakukan oleh sahabat yang membutuhkan air itu. Dia bahkan mementingkan saudara yang lainnya. Sahabat Rasulullah ini memberikan air yang sangat dibutuhkan itu pada sahabatnya yang lain. Sungguh peristiwa yang sangat luar biasa. Tingkatan keimanan yang paling tinggi itsar (mementingkan saudaranya ketimbang dirinya sendiri) telah dilakukan oleh saudaraku.

“Tidak, Akh! Kelihatannya, antum lebih memerlukan uang itu dari pada ana. Ambil saja, ana masih belum begitu membutuhkannya” ucap Ustad Fadlan. “sudahlah Akh, terima saja! Kelihatannya antum lebih memerlukannya ketimbang ana. Biar nanti usaha antum dapat berjalan lebih optimal” Ustad Fadlan mencoba untuk mempertegas ucapannya.

“Hem,” Hamsah sedikit berfikir. “kalau begitu syukron Ustad!” jawab Hamsah, sambil menerima uangnya.

“Afwan!” jawab Ustad Fadlan sambil tersenyum lega.

Sebuah hal yang dapat aku petik hikmahnya. Sebuah fenomena yang membedakan antara umat muslim dan umat yang lainnya. Sebuah karekter dasar yang seharusnya sudah tertanam dibenak umat Islam sejak lama. Sebuah tauladan yang telah dicontohkan oleh Muhammad Rasulullah Saw. Hingga akhirnya, umat Islam lah yang seharusnya berjaya.

“Wah, antum sudah siap untuk usaha lagi nich.” Ucap Abidin.

“Siap usaha, and siap menikah!” timpal Rochim

serempak kami tertawa. Ustad Fadlan hanya tersenyum.

“Iya, kok kalian hanya tertawa! Padahal Rasulullah mengajarkan kepada para pemuda untuk bersegerah menikah, bagi yang sudah mampu. Dan ana yakin kalian sudah mampu. Jangan jadi alasan karena nggak punya penghasilan atau pekerjaan yang tetap, menjadikan kalian menghambat pernikahan! Ingat loh pernikahan itu juga termasuk membuka pintu rezeki” taujih Ustad Fadlan.

Tak pelak kami pun semua tersenyum, sambil melirik satu sama lainnya.

“Maka dari itu, kalian harus bersegara. Banyak akhwat yang belum menikah loh, Akh! Masa kalian membiarkan akhwat-akhwat sendiri dalam perjuangannya.” Ucap lanjut Ustad Fadlan.

Kami masih tetap tersenyum penuh arti. Entah itu senyuman pengharapan, ataukah senyuman karena malu. Aku tak tahu. Yang penting senyumku adalah senyum pengharapan. Senyum yang mengharap mendapatkan bidadari untuk menemaniku berjuang dalam dakwah ini. Aku jujur loh.

Entah sudah berapa lama kami berkumpul. Berkumpul untuk saling mengingatkan tentang agama yang haq ini. Yang menjadikan kami terus mengingat tentang pentingnya berdakwah. Apalagi pentingnya jalan menuju surga Ilahi. Dan tak kalah pentingnya mendapatkan bidadari. Nah kan, bidadari lagi.

Tak terasa mentari sudah akan menyiapkan tempat tidur yang enak. Serta kasur yang empuk, hingga akhirnya surya pun berangsur-angsur tenggalam dengan membawa sinar kehangatanannya. Dan menjadi saksi perjuanganku. Perjuangan yang tak akan pernah henti sampai kapanpun, hingga akhirnya akupun berada diatas sang surya. Tunggu aku wahai mentari.

***

“Krriiiiiiiinggg………….” Jam wakerku berbunyi keras sekali. Keras, tetapi tidak sekeras cambuk malaikat dineraka nanti. Aku terbangun. Aku lihat Lorus, jam wakerku. Menunjukkan pukul tiga pagi. Saat-saat yang paling dinanti. Dinanti, oleh para malaikat yang memburu manusia-manusia, yang terbangun dari tidurnya. Dan menegakkan sholat untuk Rabbnya. Hingga malaikat-malaikat tersenyum, seraya mengatakan “Wahai Tuhanku, janganlah engkau menyiksa para manusia-manusia yang terbangun disepertiga malam ini. Saat mereka terbangun dan menyembahmu! Menyembah dengan berharap kepadaMu. Wahai Rabb, jadikan manusia-manusia ini sebagai mujahid-mujahidahmu. Yang kelak akan engkau masukkan kesurga, yang telah engkau janjikan nanti”

Aku mencoba untuk bangkit dari tempat tidur. Menapak dengan kaki gontai yang teramat sangat. Karena rasa kantuk yang datang menggebu. Menggebu-gebu seraya melarangku untuk datang bersimpuh, meminta ampun dan pertolongan kepada sang Maha Pencipta alam. Allah Swt. Sungguh ini menjadikan rasa jihad yang sesungguhnya. Jihad melawan hawa nafsu, jihad melawan sifat burukku. Tapi, itu bukan jihad yang sesungguhnya. Karena jihad yang sesungguhnya, adalah melawan penguasa yang zalim kepada umat Islam. Langkah kakiku terasa berat, tetapi tetap aku berusaha melangkah. Melangkah dalam setiap langkah yang berpahala. Air kran aku nyalakan, sungguh segar nikmat dingin air sepertiga malam. Hingga aku kedinginan. Aku basuh semua yang seharusnya dibasuh, aku bersihkan semua yang seharusnya dibersihkan. Dari tubuhku ini. Hingga aku menjadi suci. Suci dalam pandangan Ilahi. Wudhu sudah selesai aku lakukan. Kini aku kembali berjalan. Berjalan menuju kamar kusam, yang terawat rapi. Kubentangkan sajadah berlambang Ka’bah. Yaa Rabb, aku menghadapmu.

Sayup-sayup terdengar tartil Al Qur’an mengumandang pada masjid dekat kontrakan. Sudah biasa. Sholat tahajjud, sudah aku selasaikan. Tinggal kini menanti datangnya shubuh.

Terdengar suara keras dari kamar Deni “BRUAAAK….”

Serentak semua penghuni kontrakan keluar kamar semua.

“Ada apa, Akh?” tanyaku pada saat melihat Yanto yang sudah berada didepan kamar Deni.

“Ana juga tidak tau, Akh!” jawab Yanto bingung

Kini penghuni kontrakan sudah berada didepan kamar Deni. Yanto, Heri, Samsul juga termasuk aku.

“Akhi, Deni! Antum kenapa?” panggilku sambil mengetuk pintu kamar Deni.

Tetapi tetap tidak ada jawaban sama sekali. Kami semua menjadi panik. Tak biasanya seorang Al Akh yang kami panggil, tidak menyahut panggilan kami. Deni tetap tidak bersuara.

“Udah kita, kita dobrak saja!” usul Samsul, panik.

“Iya kita dobrak saja!” serentak Yanto dan Heri menyetujui usul Samsul.

Saat pintu akan didobrak. “sebentar-sebentar akh, jangan dobrak dulu! Kita lihat dulu apakah kamar ini dikunci apa nggak” ucapku, dengan langsung memegang gagang pintu. “Nah, kan nggak dikunci! Ngapain harus mendobrak segala, habis-habisin energi” ucap

Samsul enteng “Yee… yang usul dobrakkan antum, Akh!” jawab Heri kesal. “Udah-udah, kita langsung aja lihat kondisi Akhi Deni sekarang!” ajakku sambil

tersenyum. Tersenyum karena sifat kedua saudara seimanku ini. Saat kami membuka pintu kamar Deni. Terlihat tubuh Deni terkapar dilantai dengan

barang-barang yang berserakan. Kami semua sangat cemas dengan keadaan Deni. Dengan cepat aku langsung memeluk tubuh Deni. “Akh, bangun! Antum kenapa? Akhi, sadar akh!” teriakku. Aku benar-benar sangat

panik. Mengingat bahwa aku adalah yang paling tua dikontrakan. “Akhi, bangun akh! Sadar Akh” Yanto dengan agak berteriak. Sedikit demi sedikit Deni membuka matanya. Dengan mengucek matanya dan terlihat

sedikit bingung.

“Ada apa, akh? Kok tumben rame-rame! Tidur ana jadi terganggu.” Ucap Deni dengan bingung “Loh antum nggak kenapa-napa, Akh?” tanya Yanto. “Emang, ana kenapa?” tanya Deni bingung “Hem, antum nggak ngerasa bikin kita panik yach!” sahut Heri. “Iya, akh! Tadi di kamar antum terdengar bunyi keras sekali. Seperti ada benda jatuh

dikamar antum!” ucap Samsul. “Iya! Makanya kami langsung kesini” timpal Yanto “Bener! Saat kita tiba, antum sudah tergeletak dilantai. Dan barang-barang antum

berserakan semuanya” sahut Heri lagi. “Ana nggak apa-apa kok. Mungkin, ana terjatuh dari kasur!” jawab Deni sambil menggaruk-garuk kepalanya.

“Yee…. Antum itu kebiasaan. Kalau tidur nggak bisa dibangunin. Ya, gini akhirnya! Sampai-sampai jatuh nggak ngerasa jatuh, saking lelapnya!” ucap Yanto

“Kali aja, emang nggak pernah baca doa sebelum tidur!” timpal Samsul.

“Iya, bener! Pasti, tadi nggak sholat tahajjud” sahut Heri

Deni masih terlihat bingung sambil menggaruk-garuk kepalanya. Dan terlihat hanya nyengir karena malu.

“Udah-udah! Sekarang sholat shubuh. Tuh sudah adzan” selaku.

Kami pun beranjak pergi kekamar masing-masing, untuk mengambil sajadah. Setelah itu kami berangkat pergi ke masjid bersamaan.

***

Selesai pulang dari masjid. Aku langsung mengambil al ma’tsurat. Dzikir pagi dan petang. Teman-teman kontrakanku, sudah kembali menjalankan aktifitas yang tertunda. Menjalankan, apa yang sudah menjadi rutinitas mereka. Meneruskan mimpi-mimpi indahnya. Bertemu dengan bidadari surga. Nahkan, bidadari lagi.

Sudah jadi kebiasaan dikeluargaku. Kalau sudah bangun pagi, sholat shubuh. Dilarang untuk kembali tidur. Bapakku, bisa ngomel-ngomel seharian. Kalau tahu anaknya tidur setelah sholat shubuh. Katanya nanti nggak disiplin lah, orang yang tidur itu nggak dapat rezekilah atau pintu rezeki ditutup oleh Allah. Aku dulu, jengkel juga sama Bapak. Masa, orang masih ngantuk-ngantuknya tidak boleh melanjutkan tidur. Malah disuruh untuk mandi. Kan, dingin.

Tapi setelah itu aku benar-benar tahu kenapa Bapak menyuruh keluarga kami untuk tidak kembali tidur selesai sholat shubuh. Hikmah yang paling mendasar baru aku ketahui saat ini. Saat aku sudah terbuai dengan kenikmatan dakwah ini. Kenikmatan yang akan memberikan aku pencerahan kembali. Pencerahan atas nama Rabb penguasa alam. Atas nama Al Haq dari segalanya. Dari apa yang ada di alam semesta ini. Sang Ilahi.

Pukul 05.30, sudah kebiasanku juga. Setiap pagi harus selalu diselingi dengan olah raga. Minimal pemanasan otot dan lari pagi. Atau kalau lagi malas, biasanya aku bermain sepak bola, di komputerku. Bisa untuk melemaskan otot-otot tangan dan jemarikan!. Setelah itu, baru mandi.

“Tlluuutt….tlluuuut” telfon berdering tepat pukul 06.00. Saat itu aku sedang asyik­asyiknya bermain sepak bola, liga Italy di komputerku. Karena asyik banget, akhirnya aku biarkan saja. Itung-itung bikin teman-teman bangun, dan mengangkat telphonenya. Benar juga, akhirnya Deni yang mengangkat telphonnya.

“Akh, Khalid. Ada yang telephone!” panggil Deni.

“Tumben, ada yang menelephonku pagi-pagi. Biasanya, pagi-pagi seperti ini Samsul yang dapat telephone. Kadang, para Akhwat yang nelphone Samsul. Ngingetin kalau siangnya ada Syuro’. Biasalah ketua LDK. Yang pelupa, dan susah diingetin. Gimana mau ngingetin, ponsel aja kadang masih pinjem teman-teman. Hem, sama kayak aku dulu.” Aku pause FIFA ku. Lalu melangkah untuk menerima telephone.

“Wah, akhi Khalid! Pagi-pagi sudah ditelphone akhwat. Suaranya merdu loh akh.

Ingatlah akh. Awas, berkhalwat.” Ucap Deni bercanda. “Hem, kok mikirnya su’udhon terus! Nich ikhwan, lupa sama akhlaq yach?” jawabku sekenanya, sambil mengambil gagang telphone.

“Afwan, bercanda akh!” jawab Deni. “Assalamualaikum!” salamku pada seorang yang menelphoneku. “iya, ini Khalid yach?” jawab si penelphone. Nih akhwat, di doa’in kok nggak bales doa sich. gumamku kesal, dalam hati. “iya benar,

ini Khalid! Mbak siapa yach?” jawabku. “Khalid, ini aku! Nova” jawab si penelphone Aku terpaku, termangu. Nova, gadis cantik yang aku lihat. Gadis, yang membuatku

melupakan kenikmatan untuk menyembah Al Haq. Melupakanku dalam memohon ampunan dosa-dosaku. Gadis, yang membuat dosa baru buatku. Gadis, yang melenakan aku dengan Ilahi.

“Hallo, Khalid! Kamu kok diam? Kamu kenapa?” ucap Nova kebingungan. “Nova? Yang temannya Hendra itu yach?” tanyaku. “Iya! Apa kamu lupa?” jawabnya singkat “Oh, iya aku ingat! Kamu dapat nomor telponku dari mana?” tanyaku heran “Dari, Hendra! Kenapa?” “Oh nggak apa-apa! Cuman, nanya aja kok. Ada, keperluan apa Nov” ucapku “Gini, Khalid. Aku pengen tanya-tanya kekamu, tentang Islam! Aku pengen balajar

banyak tentang Islam” Jawabnya

Hem. Ada apa nich, kok nich cewek langsung pengen tanya-tanya tentang Islam.

gumamku dalam hati. Aku langsung teringat. Teringat dengan Nova. Teringat dengan

wajahnya. Teringat dengan akhwat, yang sama persis dengan wajahnya Nova. Teringat dengan rencanaku memadu-memadukan wajah akhwat itu dengan Nova. Teringat aku akan meminta tolong sama Deni, untuk mendesain wajah akhwat itu dengan wajahnya Nova. Tetapi aku harus tetap khusnodhon terhadap Nova. Aku takut, jangan-jangan jika aku berfikir yang tidak baik maka Allah akan mengabulkan apa yang aku pikir. Karena Allah kan menurut apa yang diprasangka hambanya. Jadi, aku harus berprasangka baik. Biar Allah mengambulkan kebaikan itu pula.

“Wah, aku jadi tersandung ee tersanjung! Seorang ketua UK3 mau belajar agama Islam” jawabku sekenanya. “Yee… orang mau belajar kok diolok-olok!” ujar Nova, terdengar sinis.

“Nggak! Bukan aku bermaksud mengolok-olok, cuman aneh aja” jawabku “Nggak anehlah! Seorang yang ingin mengetahui agama orang lain, itukan wajar!” jawabnya

Kini saatnya aku harus mendakwai orang non muslim. Kini saatnya, aku membuktikan kebenaran ajaran Islam. Meskipun benak-benak qolbu berontak, bertanya-tanya tentang kebenaran ketulusan Nova dalam belajar agama Islam. Tapi kalaulah seandainya dia memang ingin berdebat denganku. Insya Allah, aku sudah bersiapsiaga.

“Hem, Ok deh! Kapan bisa mulai?” tanyaku “Kamu, punya waktu kapan?” Nova balik bertanya. “Insya Allah, nanti siang aku ada waktu!” jawabku enteng. “Kalau jam 8 pagi, gimana?” tawarnya. “Waduh, sorry! Aku ada bimbingan kalau jam segitu” jawabku. “Baik, nanti jam 1 siang aku tunggu” jawabnya “Tempatnya, dimana?” tanyaku “Enaknya dimana yach? Kalau di kantin gimana?” “Wah, kalau dikantin nggak kondusif. Lebih baik ditempat yang tenang aja” “Hem kalau gitu, selesai kuliah aku tunggu kamu di Fakultas ekonomi kelas A” “Ok, aku akan kesana!” “Kalau gitu, sampai nantinya yach!”

Saat Nova akan menutup telefonnya.

“Eh, tunggu-tunggu Nov. Jangan ditutup dulu telpnya!” sergahku

“Ada apa, Lid?” Nova terdengar agak heran.

“Enggak, gini loh. Kalau bisa, nanti kamu membawa teman yach! Biar kita nggak berdua-duaan” pintaku.

“Loh, apa kamu nggak pengen berdua-duaan denganku, Lid? Kan, enak dua-duaan!” jawab Nova sambil tertawa.

“Maaf, Nov. Kalau gitu aku nggak jadi aja deh! Aku nggak pengen melanggar apa yang telah diatur oleh agamaku” jawabku ketus.

“Loh, sebentar Lid! Aku tadi cuman bercanda aja kok. Jangan dimasukkan kehati gitu dong! Ok lah, kalau kamu pengennya seperti itu. Aku akan ajak temenku Rani, Dewi dan Hendra” jawabnya

“Nah, begitu kan lebih baik! Tidaklah diperbolehkan dalam Islam, laki-laki dan perempuan itu bercampur baur atau bahkan malah berdua-duaan. Karena itu adalah mendekati dosa! Dan, kalau untuk bercampur baur. Nanti aku akan atur biar nggak terkesaan bercampur antara wanita dan laki-laki.” Jawabku mantap.

“Hem. Ok Lid! Aku tungguh, da…..h!”

setelah itu yang terdengar hanya nada “tuttttt……”

Aku tutup telponku. Setelah itu, aku kembali lagi kekamarku. Hilang sudah semangatku yang tadi telah berkobar-kobar berjuang untuk mengalahkan Roma. Dalam games FIFAku. Aku matikan games FIFA, setelah itu aku gantikan dengan winamp. Dengan serta mertapun semangatku kembali berkobar.

“Tujuan kita Allah yang perkasa Teladan kita Muhammad tercinta Panduan kita Al Qur’an mulia Cita-cita kita Syahid dijalan Allah

Islam adalah Satu Satu iman satu jiwa satu hati Adilnya tertinggi dihadapan Rabbi Pada api bagi hindi tirani

Islam adalah Satu Satu pengorbanan dalam perjuangan

Menggenggam dunia selimuti angkasa Kibarkan panji-panji kemenangan

Bangkit dan bersatulah Satukan tekat tuk raih kemenangan Naungi dunia dengan kedamaian Dibawah panji Islam nan mulia”

Bidadari untuk ikhwan_jilid 3

Aku keluar dari sekretariat dosen, dengan penuh kemenangan. Kemenangan awal

yang akan diikuti oleh perjuangan yang lainnya. “Hey, Khalid! Gimana bimbingan dengan si Prof killer itu?” sapa Hendra, yang saat itu berada disampingku.

“Alhamudillah, semua beres!” ucapku penuh kemenangan “Wah, enak ya kalau aktivis” ujar Hendra Aku tersenyum sambil mengatakan “makanya, kenapa dulu nggak jadi aktivis!”.

Belum tahu dia tentang perjuanganku untuk mempertahankan nama baik. Dan belum tahu dia kalau keteganganku saat menghadapi Professor Susilo Nugroho bagaikan tawaran untuk menikahi seorang akhwat, ucapku dalam hati.

“Kamu mau kemana sekarang, Lid?” tanya Hendra

“Mau, kesekretariat LDK! Kenapa? Mau ikut!” jawabku enteng

“Nggak! Sebenarnya aku ada perlu sama kamu, kalau kamu nggak repot!”

“Wah, ada perlu apa nich? Nggak kok, aku nggak repot!”

“Lid, gimana kita kalau duduk disitu!” Hendra menunjukkan tempat duduk di taman fakultas hukum. Yang saat itu beberapa tempat duduk yang masih dipenuhi mahasiswa­mahasiswi yang sedang berkumpul. Entah apa yang mereka lakukan.

Aku mengangguk setuju.

Setelah duduk di kursi paten beton. Hendra langsung mengatakan sesuatu yang mengganjal hatinya “Sebenarnya gini Lid!” Hendra mengatakan tentang sesuatu yang mengganjal pada hatinya. Sesuatu yang membuat dia resah. Membuat dia merasa bingung harus ditanyakan kemana sebuah persoalan yang berada pada rongga pikirannya.

“Lid, aku mendapat SMS juga mendapat berita dari temanku. Akan ada sebuah penyerangan besar yang ditujukan kepada orang-orang Kristen. Akan ada sweeping besar-besaran yang dilakukan oleh umat Islam kepada orang-orang Kristen. Dan setiap wanita Kristen akan diperkosa, laki-lakinya akan dibunuh!” ucap Hendra serius.

Hendra adalah seorang penganut Kristen yang sangat dekat danganku. Seorang Kristen yang sangat mendukung tentang Hak Asasi dalam beragama. Seorang yang tidak

suka menghalalkan segala cara untuk menggapai tujuannya. Seorang yang toleran dalam beragama. “Boleh aku lihat SMSnya?” pintaku

Hendra langsung mengambil HPnya. Dan langsung memperlihatkan SMS gelap itu kepadaku. “Assalamualaikum, untuk orang Islam semua. Seruan untuk mensweeping umat Kristen. Kita habisi mereka. Kita perkosa wanita-wanitanya, kita bunuh laki­lakinya. Jangan ada ampun kepada umat Kristen yang kita temui. BUNUH mereka. Allahu Akbar 5x”

Setelah membaca SMS itu, aku tersenyum.

“Kenapa kamu tersenyum, Lid? Apa ada yang lucu?” terlihat Hendra merasa tersinggung dengan senyumanku.

“Kawan, saat kamu memperlihatkan SMS itu dan aku tersenyum, bukan aku bermaksud menyinggungmu. Tapi senyumanku tertuju pada si pengirim SMS itu. Karena sesungguhnya perkataannya bukan seperti orang Islam yang beriman. Dalam Islam tidak pernah dihalalkannya untuk membunuh siapapun bahkan umat agama lain. Selama tidak ada suatu alasan yang syar’I, atau sebuah hukuman. Maka tidak diperbolehkan orang Islam membunuh. Juga, bermaksiat dalam Islam sangat berdosa besar. Apalagi memperkosa wanita. Masya Allah. Itu sangat diharamkan pada umat Islam. Karena Allah sangat murka pada orang-orang yang bermaksiat. Sesungguhnya kawanku, umat Islam jika mengucapkan takbir, itu terbiasa dengan 3x kali. Tapi disitu janggal, dengan mengucapkan takbir 5x. Berarti, si pengirim SMS itu tidak mengetahui pasti tentang kebiasan orang-orang Islam. Bukan berarti aku mengatakan si pengirim SMS itu orang beragama lain, tetapi bisa juga orang yang mengirim SMS itu adalah orang-orang Islam tetapi yang tidak beriman. Dan apakah engkau tahu? Bahwa aku tidak pernah dikirim SMS yang berbunyi seperti itu. Padahal aku adalah termasuk orang-orang yang memperjuangkan agamaku!” jelasku panjang lebar.

“Tapi umat Kristen diisukan, bahwa mereka telah memurtadkan orang Islam. Apakah isu itu tidak membuat orang-orang Islam sangat membenci umat Kristen?”

“Kawanku, apakah engkau menyangkal bahwa umat Kristen tidak memurtadkan umat Islam?” tanyaku balik kepada Hendra

Hendra menunduk lesu, setelah itu menghembuskan nafas panjang “Iya, aku akui. Bahwa memang ada sebagian besar orang-orang Kristen yang menghalalkan segala cara untuk memurtadkan orang Islam. Mereka berfikir bahwa umat selain Kristen, adalah domba­domba yang tersesat. Aku sudah berungkali menolak dogma itu, kepada kalanganku. Tapi apalah dayaku,” Hendra menghela nafas panjangnya, setelah itu dia melanjutkan perkatannnya “Aku hanya seorang anak pendeta yang telah terasing dari agamaku sendiri. Tetapi aku masih yakin bahwa dogma itu harus dirubah. Semua umat beragama adalah orang-orang yang ber Tuhan. Dan semua orang beragama adalah orang-orang yang baik.”

“Kawan, bukan berarti jika umat Kristen memurtadkan umat Islam. Dan umat Islam membenci umat Kristen semua! Sesungguhnya yang kita benci bukan umat Kristen semuanya, tetapi kelakuan yang telah dilakukan oleh segelintir umat Kristen yang menghalalkan segala cara untuk menempuh tunjuannya. Kawan, kita memang diperbolehkan untuk bersyiar, kita memang diperbolehkan untuk berdakwah. Tetapi tujuan kita adalah memberikan sebuah pengetahuan yang benar, tentang arti sebuah kebanaran itu sendiri. Kita boleh memberikan sebuah bantuan kepada orang lain. Tetapi kawan, kita harus ingat tentang keikhlasan. Keikhlasan adalah sebuah maksud tanpa ada tujuan tertentu selain tujuan untuk diridho’I oleh Tuhan kita. Bukanlah itu sebuah keIkhlasan, manakala kita membantu seseorang dengan tujuan untuk menarik mereka menuruti apa yang kita inginkan. Ada sebuah hal yang menarik dari sebuah kisah dua sahabat Rasulullah Muhammad Saw. Dia adalah Abu Bakar dan Bilal. Abu Bakar adalah orang yang membeli seorang budak muslim yang saat itu teraniaya dengan harga yang sangat mahal, dia adalah Bilal. Sungguh saat itu Bilal sudah dizalami oleh orang-orang Quraisy. Dengan serta merta Abu Bakar membeli Bilal dengan harga yang sangat mahal dari budak yang lainnya. Setelah itu Abu Bakar membebaskan Bilal dari perbudakan. Pada suatu masa, yang pada saat itu Abu Bakar meminta dengan sangat kepada Bilal untuk menuruti perintahnya. Dengan sangat rendah hati, Bilal mengucapkan “sesungguhnya wahai sahabat Rasulullah, apa yang engkau inginkan dari pembebasanku. Apakah engkau ingin aku menuruti perintahmu? Atau kah engkau membebaskan aku dengan keIkhlasanmu kepada Allah. Jika engkau memerdekakanku agar aku menjadi milikmu, maka lakukan apa yang engkau inginkan. Jika engkau memerdekakanku karena Allah, maka biarkanlah aku.” Saat itulah Abu Bakar dengan rendah hati pula mengatakan “Aku membebaskanmu karena Allah, Wahai Bilal!” sungguh ini adalah sebuah kalimat keikhlasan yang sangat dalam. Tiada dari sebuah maksud keikhlasan melainkan hanya kepada Allah lah saja. Jadi sebenarnya, bahwa umat muslim boleh memberikan bantuan kepada umat Kristen. Tetapi umat Islam diharamkan memaksa umat Kristen untuk mengikuti keinginan dari umat Islam. Dan seharusnya pun, begitu pula sebaliknya.” Jawabku panjang lebar.

“Tetapi Khalid, apakah engkau menjamin bahwa tidak akan ada pensweepingan umat Islam terhadap umat Kristen?” tanya Hendra ragu

“Kawanku, sesungguhnya Islam itu adalah agama damai! Dan sesungguhnya umat Islam itu, umat yang damai. Tetapi jika umat Islam dizalimi. Tidak ada kata lain selain Jihad. Aku menjamin bahwa tidak akan ada pensweepingan umat Islam terhadap umat Kristen. Selama umat Kristen tidak melakukan sebuah kecurangan. Dan tidak akan ada pembunuhan dan perkosaan terhadap umat Kristen, meskipun jika memang dilakukan pensweepingan terhadap umat Kristen yang curang. Karena Islam mengharamkan cara yang bathil. Insya Allah, Kawan.” Jawabku mantap

“Lid, terima kasih atas jawab-jawabmu! Sebenarnya aku sangat khawatir sekali. Aku khawatir terjadi permusuhan antar agama. Aku tidak menginginkan adanya sebuah pertikaian antar agama. Yang aku inginkan adalah, kita merdeka dalam memeluk setiap agama kita. Tidak ada saling memaksakan kehendak dalam beragama. Dengan

berpedoman bahwa semua orang beragama punya hak yang sama dalam menjalankan agamanya.” Ucap Hendra

Aku tersenyum, sambil mengatakan “Hen! dalam Al Qu’ran, surat Al-Kafirun “Dan aku tidak pernah menjadi penyembah yang kamu sembah, dan kamu tidak pernah pula menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah, untukmulah agamamu dan untukkulah agamaku” jadi dalam Islam sudah diatur tata cara kehidupan beragama. Selama kita saling menghormati dan saling memberikan toleransi. Maka tidak akan ada permusuhan bahkan pertikaian antar agama.”

“Benar, apa yang kamu katakana Khalid! Seharusnya seperti itulah orang-orang yang beragama. Mereka mengurusi agama mereka masing-masing. Dan apabila saling memberikan bantuan. Seharusnya bantuan itu diberikan dengan keikhlasan. Tanpa ada maksud yang lainnya selain untuk mendapatkan pahala dari Tuhan.” ucap Hendra.

Aku mengangguk setuju.

“Lid, atas nama agamaku. Aku meminta maaf atas perilaku segelintir orang Kristen yang menghalalkan segala cara untuk memuaskan kehendak mereka sendiri”

“Iya, Hen! Sama, aku juga meminta maaf mungkin beberapa dari umat Islam yang begitu agresif dalam mempertahankan agama Islam. Membuat kamu merasa tidak tenang. Tetapi sebenarnya apa yang dilakukan oleh umat Islam, hanya untuk mempertahankan saja bukan menyerang. Dan SMS yang kamu terima itu bukan SMS dari umat Islam. Karena Umat Islam tidak akan melakukan tindakan sehina itu.” Ucapku

Aku jadi teringat pertemuan awalku dengan Hendra. Saat itu Hendra sangat tersinggung, saat aku katakan bahwa umat Islam diharamkan untuk mengucapkan selamat kepada agama lain. Termasuk selamat Natal. Hendra saat itu mengatakan “kalau begitu Islam tidak memberikan sebuah toleransi beragama”. Sungguh inilah yang selalu diucapkan oleh kalangan orang yang tidak mengerti Islam. Mereka merasa bahwa ucapan selamat merupakan sebuah hal-hal yang tidak ada hubungannya dengan Tuhan. Mereka merasa ucapan adalah sekedar penyejuk hati. Atau sebatas kata-kata yang menyenangkan orang lain. Padahal, dalam Islam. Ucapan itu merupakan sebuah doa. Jadi umat Islam seharusnya sangat berhati-hati dalam berucap. Apalagi mengucapkan selamat kepada agama lain. Dengan santai aku menjelaskan. Bahwa sesungguhnya saat umat Islam mengatakan selamat kepada agama lain. Maka sesungguhnya umat Islam mendukung adanya agama tersebut. Padahal dalam ajaran Islam tidak ada sebuah agama yang benar kecuali agama Islam. Jadi sebuah ucapan selamat berarti membenarkan sebuah agama selain Islam. Dan itu sangat tidak diperkanankan. Dan ucapan selamat sudah merupakan sebuah akhidah bagi umat Islam. Jadi jika dalam akhidah sudah tidak diperbolehkan. Maka kita tidak boleh melakukannya. Seperti halnya umat Kristen yang disuruh umat Islam untuk sholat Jum’at. Secara otomatis umat Kristen tidak akan diperbolehkan. Karena itu adalah aturan umat Kristen. Begitu pula sebaliknya jika umat Islam tidak diperbolehkan mengucapkan selamat Natal. Maka seharusnya umat Kristen mengetahui bahwa itu adalah bagian dari ajaran umat Islam. Dan seharusnya umat Kristen lebih

toleran kepada umat Islam, dengan tidak mengharapkan ucapan selamat yang diucapkan oleh umat Islam.

Dengan begitu seharusnya umat Kristen jika mengaku toleran kepada agama lain. Maka selayaknya mereka tidak memancing-mancing mengucapkan selamat kepada umat Islam saat hari-hari besar agama Islam. Agar tidak menimbulkan rasa dengki yang timbul oleh umat Kristen dikarenakan umat Islam tidak mengucapkan selamat kepada umat Kristen. Karena kita harus ingat, bahwa toleransi beragama itu adalah hal-hal yang bersifat umum atau muamalah. Bukan toleransi yang bersifat abstrak yang menyangkut akhidah.

Hendra akhirnya mengerti tentang arti toleransi itu sendiri. Bahkan Hendra berkali-kali mengucapkan, toleransi umat Islam lebih besar ketimbang toleransi agamanya sendiri. Sudah lima tahun aku bersahabat dengan Hendra. Sehingga aku tahu sifat seorang sahabatku itu. Meskipun kami berlainan keyakinan. Tapi kami mampu memberikan sebuah aktulisasi tentang toleran itu sendiri. “Bukanlah itu sebuah toleransi beragama, jika toleransi itu menginjak-ngijak keyakinan agama lain dan memaksa menuruti kehendak dari apa yang kita yakini” itulah perkataan Hendra pada saat itu..

Tak lama setelah perbincangan kami. Pandanganku menangkap seorang wanita. Wanita yang menggelisahkan hatiku. Wanita yang pernah aku lihat berjalan dihadapanku. Aku benar-benar terpana melihat wanita itu. Benar-benar cantik. Sungguh benar-benar cantik. Aku tak menyangka semua ilmuku sirna. Sirna dengan memandang wanita cantik didepan mata ini.

“Lid, Khalid. kamu melamun! Ada apa?” tanya Hendra dengan memegang bahuku.

“Astagfirllah” ucapku lirih. Disertai ucapan “Subhanallah. Ya Allah sungguh kebesaranmu menciptakan wanita secantik dia” ucapku dalam hati.

Hendra membalikkan badannya kebelakang. Yang pada saat itu duduknya masih berhadapan padaku. Serta merta Hendra tersenyum. Lalu berucap “Lid, itu Nova. Temanku di UK3 (Unit Kerohanian Kristen Katolik)”

“Oh.” Aku hanya mengangguk pelan saat itu

Tak lama Nova mendatangi kami berdua. Wanita yang aku kagumi kecantikannya mendatangiku. Sungguh aku tidak percaya, dia sekarang berada dihadapanku. Tepat didepanku.

“Hendra, kamu dicari Wiwid tuh!” ucapnya kepada Hendra.

“Oh, dimana dia sekarang?” Tanya Hendra

“Dikantin Fakultas Ekonomi!” ucapnya lirih.

“Oh ya, kenalin nich! Temanku” sambil menunjukku

Tak lama dia tersenyum. “Subhanallah, senyumnya cantik sekali” ucapku dalam hati. Aku membalas senyumannya.

“Nova, Maria Nova lengkapnya!” ucapnya sambil menyodorkan tangannya kepadaku untuk berjabat tangan.

Tangannya putih sekali. Seputih iklan produk pemutih. Jiwa ini berontak menerima atau menolak uluran tangannya. Perjuangan akhidah dan nafsu tumpang tindih. Sungguh, benar-benar inilah yang disebut ujian. Ujian untuk menaikkan tingkat keimanan. Mungkin karena hal inilah, akhirnya tercipta Liberalisasi Islam. Karena nggak kuat untuk menyentuh tangan yang putih bersih dan sangat halus.

“Khalid, Khalid Hendriansyah lengkapnya” balasku dengan merapatkan kedua telapak tanganku kearah dada.

Dengan serta merta Nova menarik tangannya kembali, serta merapatkan kedua telapak tangannya kearah dadanya. Dia terlihat mengerti apa yang aku maksud.

“Nova ini ketua UK3 loh, Lid!” ucap Hendra dengan nada suara yang bermaksud tertentu. Entah apa maksudnya, mungkin dia memperingatkanku untuk berhati-hati dengannya.

Nova saat itu hanya tersenyum simpul.

“Khalid, aku tahu kamu! Kamu adalah aktivis LDK kan?” ucap Nova

Aku tersenyum lalu berkata “iya, kok kamu tahu? Apakah kita pernah ketemu?”

“Iya, kita pernah bertemu! Disuatu tempat, ingat-ingatlah kembali!” jawabnya penuh maksud yang tersembunyi

“Hem, dimana yach?” tanyaku penuh tanda tanya.

“Ada deh! Pikir dulu aja. Oh ya udah dulu yach, aku masih ada keperluan lagi. Aku tadi hanya menyampaikan pesannya Wiwid aja kok!” ucap Nova

Saat Nova akan meninggalkan aku dan Hendra. Tatapan matanya terlihat sendu mengharapkan sesuatu kepadaku. Entah apa itu. Aku tak tahu, karena aku langsung menundukkan pandanganku.

“iya, hati-hati yach! Kalau ketemu Wiwid bilang, bentar lagi aku kesana. Aku masih ada urusan sama Khalid” ucap Hendra.

Dewi Aphrodite telah meninggalkanku. Tetapi kecantikannya masih terbayang dalam rongga pikirku. “Khalid,” panggil Hendra “Iya apa Hend!” ucapku “Cantik, yach?” ucap Hendra “Siapa?” ucapku berlagak tidak tahu. Meskipun aku tahu yang dimaksud adalah Nova. “Ah, kamu. Sok! Nova maksudku” ucap Hendra mempertegas Aku tersenyum, “iya, cantik! Kenapa?” tanyaku balik “Lid, aku kasihan kepada Nova!” “Kasihan kenapa?” “Nova, adalah anak dari Pendeta Joseph”

“Hem! Lalu kenapa?” tanyaku penasaran “Aku kenal Nova sejak kecil, Lid! Dan rumah Nova berada di sebelah rumahku. Pendeta Joseph adalah teman Papaku, Lid. Pendeta Joseph sering memukul Nova, jika Nova tidak mau mengikuti perintah dari Pendeta Joseph. Kamu tahu nggak Lid. Pernah suatu kali Nova akan dinikahkan sama seorang pengusaha tua kaya yang beragama Islam. Dengan janji bahwa jika nanti Nova dinikahi, maka Pengusaha itu akan ikut beragama Kristen. Kamu tahu kan, Lid! Kecantikan Nova memang begitu merona!” ujar Hendra

“Lalu, gimana. Nova jadi nikah dengan pengusah itu?” tanyaku “Nggak jadi, Lid!” “Loh, kenapa?” “Iya, saat itu Nova menolak keras. karena menolak Nova telah dipukul habis-habisan

oleh Pendeta Joseph. Dan keluarganya mengucilkan dia. Nova pernah disekap dalam kamarnya. Karena kamar Nova berhadapan dengan kamar adikku yang perempuan. Sehingga aku bisa melihat kondisi Nova pada saat itu. Benar-benar kasihan dia,. Pakaiannya lusuh, dan dia tidak diberikan makanan apapun. Tapi aku dan adikku sering melemparkan roti kering dan air kemasan kearah kamarnya. Aku akhirnya mempunyai inisiatif untuk menyelidiki pengusaha tua tadi. Setelah aku dan teman-teman selidiki. Ternyata pengusaha tadi mempunyai seorang istri. Setelah kami selidiki, akhirnya kami tahu kalau sebenarnya kekayaan dari pengusaha itu adalah kekayaan isterinya. Dan saat

itu pun kami memberitahukan kelakuan pengusaha tua itu. Pengusaha tua itu mengurungkan niatnya untuk memperisteri Nova.” Cerita Hendra dengan serius.

“Hem..!” aku cuma manggut-manggut

“Dan akhirnya, Nova bisa sedikit bernafas lega. Tetapi kayaknya akan ada rencana lain yang akan dilakukan oleh pendeta Yoseph. Entah itu rencana apa? Aku tak tahu!” ucap Hendra bingung.

“Hem…! Ya.. sudahlah kita cuma bisa berdoa saja, semoga rencana itu bukan rencana yang buruk.” Ucapku.

“Sebenarnya, aku juga mau cerita sesuatu kepadamu Lid!”

“Apa, Hend? Masalah tadi? Atau masalah Nova lagi!”

“Ini bukan masalahku yang tadi Lid! Tetapi ini masih ada hubungannya dengan Nova!”

“Apa itu Hen?” tanyaku

“Gini Lid, di UK3 sedang merencanakan program Baksos (Bakti Sosial) ke desa-desa kumuh. Aku nggak suka dengan program mereka Lid!”

“Loh, kan bagus Hen!” selaku

“Bagus sih bagus. Tapi ada yang janggal dari Baksos itu! Kenapa yang melakukan Baksos adalah orang-orangnya pendeta Yoseph. Yang aku sesalkan Baksos itu atas nama dan dana dari kampus. Nah ini kan nggak etis. Seharusnya kalau itu Baksosnya UK3, ya seharusnya kan mahasiswa-mahasiswi anggota UK3. Bukannya anak buah pendeta Yoseph. Nah ini yang janggal. Lid. Dan ini sudah dilaksanakan oleh mereka.” Tutur Hendra serius.

“Oh, jadi seperti itu yach!” ucapku sejenak. Aku jadi teringat cerita bang Jamal dan bang Dadang kembali. Didesa binaanku juga sedang didatangi orang-orang yang aneh. Aneh dengan cara pengajaran dan ajarannya. Kalaulah mereka beragama Islam, ajaran mereka memang mengajarkan Islam. Tetapi paham dari ajaran mereka sangat bertentangan dengan Islam. Bahkan bisa dikatakan menghina Islam. Aku benar-benar ragu dengan apa yang diajarkan oleh orang-orang asing itu. Apakah memang mereka benar-benar mengerti tentang Islam. Ataukah mereka ingin merusak agama Islam. Aku jadi teringat gadis yang berjilbab itu. Aku jadi teringat wajahnya, wajahnya seperti tak asing lagi bagiku. Dia seperti?. Oh iya benar. Dia seperti Nova. Benar-benar wajahnya seperti wajah Maria Nova. Apakah benar dia Maria Nova?. Benar tak salah lagi bagiku. Baik nanti aku akan minta tolong Deni, si pakar computer itu! Untuk mencocokkan wajah gadis berjilbab itu dengan Nova gumamku dalam hati.

“Khalid, kamu melamun lagi! Ada apa Lid?”

“Oh, nggak Hen! Aku cuma lagi mengingat-ingat aja kok!” jelasku

“Apa yang sedang kamu ingat-ingat, Lid?”

Aku hanya tersenyum sambil mengatakan “Ada deh!” Seketika itu, aku jadi teringat hari ini aku ada kajian. “Hen, sorry! Aku ada perlu sekarang. Aku ada janji dengan Ustadku. Besok kita lanjutkan lagi ngobrol kita” ucapku terburu-buru

Hendri tersenyum sambil mengatakan “Ok, Lid! Ya, besok kita lanjutkan.”

Sebelum berangkat ke rumah Ustad Fadlan, aku harus mengambil beberapa buku catatan dikontrakanku.

***

Perjalanan menuju rumah ustad Fadlan memang agak jauh. Sekitar 4 kilometer dari tempat kontrakanku. Karena aku nggak punya kendaraan, jadi aku harus berjalan kaki menuju rumah ustad Fadlan. Meskipun capek, tapi aku yakin bahwa ada perhitungan tersendiri dari Allah swt, untukku. Tapi sebenarnya, untuk berjalan 4 kilometer masih belum ada apa-apanya dibanding dengan rumahku yang ada didesa. Saat aku kecil. Aku dan teman-temanku bahkan sering melihat pasar reboan di alun-alun kota, yang berjarak 10 kilometer dari desaku. Jadi perjalananku kerumah ustad Fadlan masih aku anggap belum ada apa-apanya. Pernah suatu kali ustad Fadlan menawari aku sepeda mininya untuk aku bawa. Mungkin sebelum aku diberitahu oleh teman-temanku tentang kehidupan keluarga ustad Fadlan. Pasti aku akan menerimanya. Tetapi sejak aku diberitahu dan melihat sendiri kehidupan keluarga ustad Fadlan. Aku jadi semakin bertambah keimananku.

Sebelum mempunyai rumah yang layak dihuni. Ustad Fadlan adalah seorang penjual buku-buku Islami. Dan istrinya, Ustadzah Heni. Adalah seorang guru madrasah. Mereka berdua sangat tawadhu’ dalam menjalani kehidupan. Hingga bahkan sampai saat ini. Saat mereka berdua sudah mempunyai tempat tinggal yang layak huni, juga beberapa kekayaan yang diamanahkan kepada beliau berdua. Mereka tetap tawadhu’ dalam kehidupan. Beliau terlihat tidak pernah lalai dalam mengelola kekayaan hartanya. Bahkan sepeda mini yang akan diberikan kepadaku adalah sepeda yang setiap harinya dipakai oleh Ustadzah Heni untuk mengajar di madrasah. Aku benar-benar tidak tega jika harus menerima pemberian ustad Fadlan. Biarlah kakiku berjalan saat ini, tapi aku akan berlarian disurga nanti. Berlarian dengan menggunakan kendaraan yang ada disurga nanti. Semoga, saja.

Siang ini matahari begitu terik. Deru laju motor dan mobil lalu-lalang disampingku. Debu-debu berhamburan, menerpaku. Membuat langkah kakiku terasa berat, tetapi aku yakin bahwa ini tidak seberat saat sahabat-sahabat Rasulullah diuji oleh Allah dengan siksaan kaum Quraisy. Seberat seorang yang menginginkan kesyahidan.

Apalagi tidak seberat batu panas yang ditindihkan kaum Quraisy ditubuh Bilal. Subhanallah. Langkah kakiku terus melaju menuju deru ilmu yang menunggu. Melaju pada setiap langkah yang berpahala. Tetap dengan terik yang menyengat kulit.

Saat kaki melangkah, saat tubuh lelah dan saat-saat mentari bersinar terik. Mata ini memandang pada tubuh kecil. Tubuh hitam legam dengan pakaian yang dekil. Berusaha untuk meraih harapan dengan berjalan meminta-minta pada setiap mobil dan motor yang berhenti. Tidak biasanya. Yang aku tahu, diperempatan itu tidak pernah ada seorang anak kecil yang berada disitu. Tubuh kecil itu sesekali mengusap ingus yang mengalir pelan dihidungnya. Tak jarang seseorang yang melewatinya, memberikan belas kasihan kepada dia. Tapi banyak juga yang tidak berempati kepadanya. Seiring dengan langkah kakiku, anak itu masih tetap dalam naungan sang surya. Sebenarnya aku ingin mendekatinya, bertanya asal-usulnya dan sekedar untuk memberitahukan bahwa ada yang perduli dengannya. Tetapi saat itu aku urungkan. Karena aku mempunyai janji pada diri sendiri, janji untuk memperoleh ilmu lebih dalam lagi. Dan janji pada ustad Fadlan untuk selalu hadir dimajelisnya, majelis ilmu para pencari kebenaran. Aku putuskan, untuk menghampiri anak surya itu setelah pulang dari Liqo’ nanti.

Rumah ustad Fadlan sudah tak jauh lagi, tinggal beberap blok saja aku sudah sampai pada rumah ilmu itu. Rumah yang dihiasi oleh keindahan ajaran Islam didalamnya. Rumah yang terbina dan sakinah pada para penghuninya. Sungguh benar­benar rumah idaman.

folowers

Chat


ShoutMix chat widget